Sepercik Kisah Kehidupan Mbah Sah Kajen, Istri Mbah Abdullah Salam


Ditulis dalam Rangka Mengenang Haul Mbah Nyai Aisyah/Hafshah yang ke-11 (15 shafar 1434 - 15 shafar 1445)

اُذْكُرْ حَدِيْثَ الصَّالِحِيْنَ وَوَسْمَهُمْ :: فَبِذِكْرِهِمْ تَتَنَزَّلُ قُطُرُ النَّدَى

"Ceritakanlah kisah Shalihin dan sifatnya :: Ingat mereka, turunkan rintik hujan rahmat-Nya"

(Salah setu penggalan syair dalam bahar kamil yang biasa dibaca ketika Tawajjuhan Selasa-nan Jama'ah Thariqah an-Naqsyabandiyyah Khalidiyyah di Mushala Thariqah PMH Pusat)

اِذْ بِذِكْرِهِمْ تُفْتَحُ اَبْوَابُ السَّمَوَاتِ الْعَلِيَّةْ

"Karena dengan menceritakan kisah-kisah orang shaleh, pintu-pintu luhur langit akan terbuka."

(Sayyid Ja'far al-Barzanji, Lujainud Dani fi Manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani)

Ibunyai Hj Aisyah/Hafshah Abdillah Salam (nama aslinya Hafshah, terkenal dengan nama Aisyah, sering dipanggil Mbah Sah), kami menyebutnya "Mbah Sah" atau "Mbah Putri", merupakan salah satu perempuan luar biasa, idola saya, istri dan juga mungkin kebanyakan teman-teman santri yang mengenalnya. Banyak sekali sifat-sifat beliau yang istimewa lagi mulia, yang patut untuk diteladani. Berikut adalah secuil ahwal dan aqwal Mbah Putri yang pernah saya dengar dari sumber terpercaya atau pernah saya saksikan sendiri dengan mata kepala saya, saat saya berkhidmah jadi abdi ndalem beliau: 

WELAS ASIH KEPADA MAKHLUK

Salah satu ciri-ciri seorang hamba memiliki hubungan yang dekat dengan Gusti Allah SWT adalah bahwa hatinya selalu dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang kepada semua makhluk ciptaan Allah SWT. 

Sabda Kanjeng Nabi Muhammad SAW:

 الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، اِرْحَمُوْا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

"Orang yang memberi kasih sayang maka dia akan mendapatkan kasih sayang Allah, sayangilah orang yang di bumi, niscaya kamu akan dikasih sayangi orang yang di langit." 

Para bijak bestari mengatakan: مَنْ أَحَبَّ اللهَ رَأَى كُلَّ شَيْئٍ جَمِيْلًا, barangsiapa mencintai Gusti Allah maka akan melihat segala sesuatu tampak indah. 

Ketika memandang segala sesuatu tampak indah, maka hatinya akan dilimpah-ruahi rasa cinta dan kasih sayang kepada siapa pun tanpa pandang bulu. Mbah Putri merupakan sosok yang demikian, penuh cinta kepada sesama tanpa membeda-bedakan, termasuk juga memiliki hati yang welas asih kepada makhluknya Gusti Allah. 

WELAS ASIH KEPADA SEEKOR KUCING

Rumah Mbah KH Abdullah Salam sering dihuni oleh sekumpulan kucing. Saat itu, ada Kucing betina yang baru saja melahirkan beberapa anak Kucing (cemeng). Kucing-kucing kecil ini buang kotoran dimana-mana, sehingga membuat sebagian teman santri ndalem putri sedikit jengkel. Salah satu Abdi Ndalem putri matur kepada Mbah Sah, "Mbah, badhe matur, seumpama kucing-kucing ini dipindahkan ke tempat lain, pripun? Biar tidak mengotori ndalem Mbah Sah." Sambil tersenyum, Mbah Sah dhawuh ngguyoni Abdi Ndalem tadi, "Daripada kucingnya yang saya pindahkan, mending kamu yang tak pindahkan, Nduk. Boleh jadi, kucing-kucing ini lah yang kelak menyelamatkan aku di akhirat."    

WELAS ASIH KEPADA SANTRI

MEMBUATKAN SARAPAN NASI GORENG SETIAP PAGI

Santri-santri Pondok Pesantren Mathali'ul Huda Pusat (PMH Pusat) Kajen ketika makan biasanya kos makan di ndalem Mbah Sah. Bayarnya sangat murah. Seingat saya, pertama kali mondok di PMH Pusat, kos makan bayarnya 50.000 untuk makan dua kali sehari setiap bulan, yaitu siang ketika pulang sekolah dan malam hari setelah isyak. Biasanya, santri-santri ketika pagi, jajan sendiri di warung-warung. Adapun santri yang tidak punya uang, biasanya tidak sarapan. Melihat kenyataan ini, Mbah Sah prihatin. Beliau pun kemudian membuatkan nasi goreng setiap pagi, selain memanfaatkan nasi lebihan jatah makan malam kemarin biar tidak mubadzir, juga biar santri-santri yang tidak punya uang masih tetap bisa sarapan pagi. Biasanya, santri-santri ini sudah menunggu di depan kamar asrama lama (kamar B) yang menghadap ke pintu dapur. Sehingga, ketika pintu dapur terbuka, mereka langsung berhamburan keluar untuk sarapan bersama setapsi dan senampan, menyantap sarapan yang dibikinkan oleh piyantun mulia itu.  

MEMUNGUTI DAN MENCUCIKAN BAJU-BAJU KOTOR SANTRI YANG TERJATUH

Di Pondok Pesantren, biasanya ada beberapa santri yang tidak terlalu mengurus barang-barangnya sehingga barangnya mudah hilang. Diantara yang sering tidak terurus adalah baju-baju kotor yang terjatuh dari jemuran, atau baju kotor yang dibuang dari ember yang sudah direndam beberapa hari namun tak kunjung dicuci oleh pemiliknya. Melihat baju-baju kotor yang terbuang ini, Mbah Putri seringkali menyuruh anak-anak abdi Ndalem untuk mengambil dan mencucinya, kemudian baju-baju yang sudah bersih dikembalikan kepada pemiliknya. Saat Mbah Putri masih muda, baju-baju kotor ini malah beliau ambil dan cuci sendiri, kemudian diberikan kepada santri-santri. Komentar beliau kepada salah seorang abdi Ndalem, "Jupuki, mesakke wong tuwane. Daripada tuka-tuku klambi anyar."

MURAH SENYUM

Mbah Putri merupakan sosok pribadi yang murah senyum dan suka bercanda. Kepada siapa pun beliau selalu menebar senyum. Bukan hanya sedekah uang dan harta, beliau juga rajin menyedekahkan senyumannya kepada siapapun yang ditemui. Murah senyum ini merupakan wujud pancaran kasih sayang beliau sifat "Rahmah" yang ditebarkan kepada Ummat.


(HAMPIR) TIDAK PERNAH MARAH

Diantara sifat yang sangat melekat dalam pribadi Mbah Putri adalah bahwa beliau jarang sekali marah. Alkisah, ada santri Ndalem yang bertugas mencuci piring, kemudian ia memecahkan satu tumpukan piring. "tyyyyyyaaaarrrr…" Mbah Putri pun miyos. Alih-alih memarahi santri tadi karena telah memecahkan piring, Mbah Putri justru mengkhawatirkan santri tadi kalau-kalau kakinya terkena pecahan beling, "Belinge diresiki ya, ben ora kena sikil." ucap beliau kepada santrinya tadi. Selama nderekke jadi abdi Ndalem beliau, saya belum pernah menemui Mbah Putri ndukani atau memarahi santri-santrinya. Malahan, jika ada salah satu putra-putri beliau yang memarahi abdi Ndalem karena melakukan kesalahan, beliau justru mengingatkan dan melarang putra-putrinya untuk memarahi santri ndalem, "Aja mbok amuk, iku ya pada wae anak-anakku. Jangan kamu marahi, mereka juga adalah anak-anakku." 

SANGAT DERMAWAN

Mbah Putri merupakan sosok Ibunyai yang terkenal sangat dermawan. Saking dermawannya, Abah Nafi' Abdillah putranya menyatakan kesaksiannya beberapa hari setelah wafatnya Mbah Putri. Di dalam pengajian rutinan Senin malam Selasa, Abah Nafi' dhawuh, "Emak (Mbah Putri/Mbah Sah) itu adalah sosok pribadi yang sangat dermawan/loman. Ketika ada barangnya diminta oleh seseorang, secepat angin berhembus, langsung beliau berikan. Aku ini belum bisa seperti Emak yang nyah-nyoh banget lomane."

Siapapun yang datang sowan untuk meminta uang atau meminjam uang, biasanya dipun paringi oleh Mbah Putri. Kedermawanan beliau ini malah kadang kala dimanfaatkan oleh sebagian orang yang "nakal". Mbah Putri sering juga dibohongi oleh orang-orang nakal ini, salah satunya adalah pedagang yang sowan untuk menawarkan dagangannya dengan harga yang mahal, namun tetap saja dibeli oleh Mbah Putri. Suatu ketika, ada penjual terasi menawarkan dagangannya dengan harga sangat mahal. Tetapi Mbah Putri tetap membelinya. Santri Ndalem yang nderekke matur kepada beliau, "Nuwun sewu, Mbah, terasi itu harganya kemahalan kok Mbah. Panjenengan dibohongi Mbah." Alih-alih marah, beliau justru menjawab enteng sambil tersenyum, "Ora apa-apa diapusi, wong aku pancen wong bodo. Tidak apa-apa dibohongi, karena aku ini memang orang bodoh"

GEMAR BERSHODAQOH

Saya sering mendengar dari para senior, bahwa Mbah KH Abdullah Salam sering menasehati santri-santrinya, "Kowe nek pengen anak-anakmu dadi wong, shodaqoh-a, niati kanggo anak-anakmu! Kalian kalau pengen anak-anakmu jadi orang baik, bersedekahlah, dan niati untuk anak-anakmu!" Abah Nafi' Abdillah putra beliau juga sering menyampaikan dhawuh Mbah Dullah ini. Dhawuh Mbah Dullah ini bukan hanya sekedar ucapan belaka, bukan hanya jarkoni, bisa berujar tidak bisa menjalani, bukan hanya ondo dipakoni: kondo-kondo ora bisa ngelakoni. 

Mbah Dullah sering sekali bersedekah dan meniatkan sedekah itu untuk putra-putrinya. Mbah Putri/Mbah Sah pun sama. Beliau merupakan pribadi yang gemar bersedekah. Santri-santri Ndalem sering sekali di-sangu-ni oleh Mbah Putri. Ketika pulang atau pergi ke suatu tempat dan pamit kepada Mbah Putri, beliau selalu memberi uang saku. Pernah ada santri Ndalem yang pulang dan pamit, tetapi Mbah Putri tidak memberi uang saku. Saat kembali ke Pondok, santri ini ditimbali dan sangu-nya di-Qadha-i oleh Mbah Putri, "Iki lho sangumu, wingi kelalen durung tak paringi sangu." 

Abuya Minan pernah ngendikan, diriwayatkan oleh Gus Fattah Minan, "Anak-anake Bapak (Mbah Dullah) iku pada dadi wong, ora merga apa-apa, ya merga saking sering-e dibancak-i. Anak-anaknya Bapak ini pada jadi orang tidak karena apa-apa, ya karena sering sekali dishodaqohi."

Ada sebuah hadits diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah RA, beliau bercerita:

أَنَّهُمْ ذَبَحُوا شَاةً، فقالَ النَّبِيُّ ﷺ: "مَا بَقِيَ مِنها؟ قالت: مَا بَقِيَ مِنها إِلَّا كَتِفُهَا." قَالَ: "بَقِي كُلُّهَا غَيرَ كَتِفِهَا." (رواه الترمذي وقال: حديث صحيح.)

Sayyidah Aisyah RA bercerita bahwasanya para sahabat menyembelih kambing (dan meyedekahkannya). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang tersisa darinya (kambing)?” Sayyidah Aisyah menjawab, "Tidak tersisa darinya kecuali bahunya." Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tersisa seluruhnya (bagi kita di akhirat) kecuali bahunya.” (HR. At-Tirmidzi dan beliau berkata, hadis ini merupakan hadits shahih) 

Tentang hal ini, Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata: "Sepintar-pintar orang itu adalah yang menyedekahkan sesuatu untuk dirinya sendiri. Sebodoh-bodoh orang itu adalah yang menyedekahkan sesuatu tidak untuk dirinya sendiri."

Pemahaman antimainstream dari Sayyidina Ali tentang sesuatu yang bermanfaat untuk diri sendiri, bukan untuk hari ini, tetapi untuk kehidupan abadi di kemudian hari. Segala yang disedekahkan kepada orang lain di dunia ini, itu lah sejatinya nikmat abadi yang didapatkan diri ini di kemudian hari. Dan segala yang dihabiskan untuk kepentingan pribadi untuk hari ini, justru habis, tidak ada sisa-sisanya di kemudian hari. 

Diantara orang yang sering mempraktikkan "Sedekah Karambol" ini, yakni sedekah yang secara dhahir diberikan kepada orang lain tetapi pahala dan berkahnya memantul kepada anak-cucu, adalah wallahu yarham Mbah KH Abdullah Salam dan istrinya Mbah Nyai Aisyah Abdullah Salam. Pernah suatu ketika, ada seorang santri abdi ndalem sowan Mbah Sah bersama dengan salah satu cucu kandung beliau. Setelah matur dan pamit, Mbah Putri  mengulurkan uang saku kepada santri abdi ndalem, sementara cucunya sendiri malah tidak diberi uang. Dalam konteks dhawuh Sayyidina Ali di atas, tindakan Mbah Putri tersebut, sebenarnya memberikan pelajaran bahwa, tindakan beliau dalam memberikan sedekah secara lahir untuk santri abdi ndalem, sejatinya adalah dimaksudkan untuk memberikan sedekah kepada anak cucu beliau di kemudian hari. 

GEMAR BERTAWASSUL KEPADA WALI/ KEKASIH ALLAH

Mbah Putri sering menasehati para santrinya, "Nek cara Yi Dullah mbiyen, nek ana apa-apa, diutus tawassul wali, khususe wali sekitar kono. Wali endi wae padha wae. Kalau menurut Mbah Dullah dulu, jika ada hajat apa saja yang mendesak, diutus untuk bertawassul kepada wali-wali, khususnya wali sekitar situ. Wali mana saja sama."

Jika ada tamu sowan, matur tentang hajat apa saja, Mbah Putri seringkali ngutus tamu tersebut untuk bertawassul dengan para Wali. Biasanya, Mbah Putri menyuruh untuk bernadzar, jika hajatnya dikabulkan Allah SWT, maka akan melaksanakan khataman atau manaqiban di Maqbarah Syekh Ahmad Mutamakkin Kajen atau Mbah Ronggo Kusumo Ngemplak. Biasanya beliau dhawuh kepada tamu yang meminta doa, "Aku iki ora isa ndunga, wes angger tawassul ning Mbah mutamakkin utawa Mbah Ronggo, trus khataman. Aku ini tidak bisa berdoa. Sudah, bertawassul saja kepada Mbah Mutamakkin atau Mbah Ronggo, kemudian khataman al Qur'an." Kemudian biasanya beliau membaca Alfatihah.

Cara beliau ini kemudian ditiru oleh banyak orang, salah satu yang menirunya adalah Ibunyai Sintok Nabilah Asrori Magelang. Saat saya sowan, beliau ngendika, "Saya ini hanya meniru Mbah Sah. Jadi, kalau ada tamu, menghaturkan hajatnya, saya minta untuk bernadzar khataman untuk Mbah Mutamakkin. Dan biidznillah, alhamdulillah, belum pernah sekalipun saya menemui hajat tamu yang belum terkabul. Maka biasanya saya membawa banyak rombongan, memenuhi nadzar hajatnya para tamu, lalu khataman al Qur'an di Mbah Mutamakkin."

SOSOK ISTIMEWA YANG SERING MENUTUPI DAN MERAHASIAKAN KEISTIMEWAANNYA

Saya yakin, Mbah Putri adalah sosok yang istimewa, tetapi yang sering ditampak-sampaikan kepada orang-orang adalah bahwa beliau sosok yang biasa saja, padahal benar-benar luar biasa. Sering kali beliau mengetahui isi hati orang dan persoalan-persoalan yang sedang menimpanya. Saya sendiri pernah mengalami beberapa kali, belum matur apa-apa, sudah didhawuhi dan dinasehati tentang hal-hal yang sangat pas dengan keadaan yang saya alami. Bukan hanya saya, teman-teman Santri Ndalem juga mengatakan hal yang sama.

Salah satu buktinya adalah kisah unik yang pernah saya ceritakan, berjudul "Manukmu Ucul, Kurungi!" ini. 

Ada salah seorang Abdi Ndalem Mbah Putri/Mbah Sah (Ibunyai Hafshah/Aisyah Abdullah Salam Kajen) yang bangun tidur dalam keadaan "mimpi basah". Di Ndalem Mbah Putri, saat itu, ia biasa bertugas untuk belanja bahan-bahan masak dapur. Karena bangun kesiangan, sementara waktu masak pagi di dapur sudah tiba, maka ia pun langsung bergegas pergi ke pasar untuk belanja bahan dan kebutuhan masak pagi di dapur, dan belum sempat untuk mandi junub.

Di dapur, biasanya, Mbah Putri/Mbah Sah turut serta membantu santri-santri Abdi Ndalem dalam memasak makanan untuk para santri. Meskipun sudah sepuh, beliau sering ikut memotong sayur kangkung, bayam dan sebagainya, juga membantu pekerjaan yang semestinya sudah dikerjakan oleh para Abdi Ndalem. Hal ini lah yang membuat "Sega Ndalem" selalu dikangeni oleh para Alumni. Karena yang memasak adalah priyantun-priyantun mulia, kinasihnya Gusti Allah, yang selalu menyelipkan doa dan dzikir dalam butiran-butiran beras yang menjadi nasi maupun potongan-potongan sayur yang menjadi lauk pauk.

Saat si Abdi Ndalem tadi sudah sampai Pondok, ia langsung membawa seluruh barang belanja ke dapur agar segera dimasak. Sesampainya di dapur, ia bertemu Mbah Putri yang masih "ngrajangi" kangkung. Sembari tersenyum, Mbah Putri ngendika kepada si Abdi Ndalem.

"Heh, manukmu ucul, kurungi!"

(Hai, burungmu lepas, kurungi!)

Si Abdi Ndalem kebingungan memahami maksud dhawuh Mbah Putri. 

"Pripun Mbah?"

"Manukmu ucul, kurungi!"

Ia masih belum "ngeh" dengan dhawuh Mbah Putri. Mbah Putri pun mengulangi ucapannya tadi untuk yang ketiga kalinya. 

"Iku lho, manukmu ucul, kurungi!"

Seketika, si Abdi Ndalem baru paham bahwa ternyata Mbah Putri sedang menyindirnya, yang berangkat belanja ke pasar dalam keadaan masih junub dan belum sempat mandi. Ia betul-betul baru paham. Ia pun tersipu malu, sambil menggumam dalam hati, "Lho kok bisa Mbah Putri tahu kalau aku masih Junub? Apa orang Junub itu ada tulisan Junub di keningnya, sehingga beliau bisa tahu?"

"MAKELAR" MBAH MUTAMAKKIN DAN MBAH RONGGO KUSUMO

Banyak sumber mengatakan bahwa Mbah Putri memiliki hubungan kedekatan yang spesial dengan Mbah Mutamakkin dan Mbah Ronggo Kusumo yang sudah berada di alam berzakh, sehingga tak jarang beliau menjadi perantara yang menyambungkan para hamba Allah dengan kedua kekasih Allah tersebut. Salah satu buktinya adalah cerita yang pernah saya sampaikan ini:   

Saat itu, saya belum jadi Abdi Ndalem Mbah Sah, masih berstatus sebagai santri Pondok. ("Santri Abdi Ndalem" adalah santri yang biasa berkhidmah membantu memenuhi kebutuhan Ndalem Kiai dan juga para santri, sementara "Santri Pondok" adalah santri yang fokus kegiatannya hanya pada mengaji atau sekolah). Saat itu, Mbah Sah sama sekali belum mengenal saya. Selain jarang sowan, saya belum menjadi bagian dari Abdi Ndalem beliau. 

Selepas lulus sekolah di Perguruan Islam Mathali'ul Falah, aku meminta Bapak supaya tidak lagi mengirim uang saku bulanan. Sebab, adik-adikku banyak, sementara Bapak hanya seorang Guru Madrasah Diniyyah Takmiliyyah sore atau "Sekolah Arab", yang gajinya tak seberapa. Secara logika finansial, aku sama sekali tidak punya pemasukan apa pun untuk biaya hidup di Pondok. Tetapi, kuyakin bahwa orang-orang yang mencari ilmu itu pasti rizqinya ditanggung Gusti Allah. Semua makhluk hidup itu rizqinya ditanggung Gusti Allah, tetapi khusus untuk para pencari ilmu, Gusti Allah menanggung rizki mereka secara "ajaib", sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al Kahfi yang menceritakan Nabi Musa saat mencari Sang Guru Nabi Khidir dan kehilangan seluruh bekal, namun menemukan banyak keajaiban:

"وَاتَّخَذَ سَبِيْلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا" 

"dan ia (ikan/rizqi) itu mengambil jalannya ke laut (mendatangi Nabi Musa/para pencari ilmu) dengan cara yang ajaib."

Juga sabda Baginda Nabi Muhammad SAW:

"مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ، تَكَفَّلَ اللهُ بِرِزْقِهِ." 

"Barangsiapa mencari ilmu, maka Gusti Allah pasti akan menanggung rizkinya." 

Akan tetapi, saat itu, aku sedang betul-betul tak punya uang dan tak punya apa-apa, sementara kebutuhan untuk hidup di Pondok banyak sekali dan sangat mendesak. Aku betul-betiul sedang terkena sakit "Kanker", Kantong Kering. Mau meminta-minta dan merepoti orang tua, rasanya sungkan. Akhirnya, malam itu, aku pun ziarah ke Maqbarah Mbah Mutamakkin, melantunkan Tahlil dan bertawassul. Berziarah ke maqbarah para kekasih Allah itu betul-betul menentramkan. Mereka sudah tidak punya kepentingan. Jika di hidupnya, mereka adalah Ahli dzikir, maka saat wafatnya pun masih mengajak manusia untuk turut serta dalam berdzikir mengingat Allah SWT. Kita, dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah an Nahdhiyyah, tidak meminta-minta kepada para Wali Allah. Kita hanya sowan berziarah, karena dalam anggapan Ahlisunnah wal Jamaah an Nahdhiyyah, para kekasih Allah itu hidup di alam barzakh, bisa disowani, tahu dan mendengar bacaan orang-orang yang berziarah kepadanya.

Selesai Ziarah di Maqbarah Mbah Mutamakkin, baru sampai Pondok beberapa menit, aku langsung ditimbali santri Abdi Ndalem Mbah Sah.

"Kang, sampean dipadosi Mbah Putri."

"Nopo? Kulo? Dipadosi Mbah Putri?

Aku bertanya keheranan, karena selama mondok di PMH Pusat, aku belum pernah sekali pun dipanggil Mbah Sah untuk sowan. Alih-alih dipanggil, lha wong sowan pun jarang sekali.

"Nggih, sampean Kang."

"Lho, wonten napa nggih?"

"Mboten ngertos."

Aku pun langsung sowan Mbah Putri, dengan memendam banyak pertanyaan. Ada apa ya sebenarnya, kok Mbah Putri sampai memanggilku? Saat itu, Mbah Putri berada di kamar beliau. Sesampainya di kamar beliau, Mbah Putri langsung memberiku sebuah amplop sambil ngendika.

"Iki ana hajat si fulan, nadzar khataman al Qur'an ning Mbah Mutamakkin. Sampean waca ya." 

"Inggih Mbah."

Saat mau langsung undur diri, Mbah Putri mengulurkan asta lembutnya sambil tersenyum.

"Salaman a, aku iki Mbahmu kok." Simbah dalam arti ideologis, bukan biologis. Seketika saya salim dan pamitan kepada Mbah Putri. 

Dalam hati, aku langsung terheran-heran. Mbah Putri apa ya didhawuhi Mbah Mutamakkin, kok bisa nyambung? Kok bisa tahu aku ini betul-betul sedang kepepet dan butuh uang? Padahal beliau sama sekali belum mengenalku. Apa Mbah Putri itu makelar-nya Mbah Mutamakkin ya? Pikiran nakalku bertanya-tanya.

Sejak saat itu, aku sering sekali sekali diberi amplop-amplop berisi uang untuk khataman al Qur'an, menunaikan hajat orang-orang, baik di Makamnya Mbah Mutamakkin, Mbah Ronggokusumo, atau pun di Makamnya Mbah Abdullah Salam. Seringkali, satu khataman belum selesai, sudah diberi khataman lagi dan lagi, oleh Mbah Putri. Bahkan, aku bisa kuliah S1, ya diberi beasiswa Mbah Putri lewat jalur khataman di Mbah Mutamakkin. Jadi ceritanya, saat masih berkhidmah menjadi Abdi Ndalem Mbah Putri, aku matur beliau, hendak boyong, pengen meneruskan kuliah. Beliau malah ngendika, 

"Ning kene wae, ngancani aku, ya? Aja ning endi-endi. Eman-eman. Nek pengen kuliah, ya kuliah iku kono gone Yi Sahal (IPMAFA), opo nggone Lek Joyo/Abah Zaky (saat itu Unwahas membuka kelas jauh di PP Al Kautsar asuhan Abah Zaky)." 

Akhirnya, aku nderekke dhawuh Mbah Putri, tidak jadi boyong. Beberapa waktu kemudian, Mbah Putri nimbali lagi dan ngendika. 

"Kuliah gene Yi Sahal iku daftare piro?" 

Kujawab, "1.500.000 Mbah." 

Tiba-tiba beliau memberiku 15 amplop khataman al Qur'an di Mbah Mutamakkin, sambil ngendika. 

"Iki nggo daftar kuliah ya." 

Aku betul-betul terkejut, dan berkata dalam hati, "Masya Allah, betapa sayangnya beliau kepada para santrinya." Lalu aku matur, "Nggih Mbah, ngestuaken dhawuh, maturnuwun sanget. Nyuwun tambah pangestu mawon.", sembari salim dan mengecup asta lembutnya.

Sumber: Akun media sosial Sahal Jepara

Lebih baru Lebih lama