Oleh: Isyrokh Fuaidi LLM
Perubahan lanskap dunia pemasaran dalam mengalami banyak perubahan. Bila dulu masyarakat hanya mengenal strategi promosi dengan cara tradisional seperti menyebar brosur, menempel baliho, atau memasang iklan di televisi dan radio, kini hampir semua sektor bisnis, dari skala kecil hingga perusahaan raksasa, berpindah ke ranah digital. Media sosial, e-commerce, SEO, content marketing, email, hingga analytic tools menjadi senjata utama. Namun, saya menilai ada satu elemen baru yang pelan tapi pasti menjadi motor penggerak di balik semua itu: Artificial Intelligence (AI). Teknologi ini tidak lagi sekadar alat tambahan, tetapi telah menjadi mesin logika yang mendesain ulang cara pemasaran dijalankan, bahkan cara manusia berinteraksi dengan produk.
Media sosial adalah wajah paling populer dari digital marketing. Kita mungkin mengira apa yang tampil di beranda Instagram, TikTok, atau Facebook adalah hasil pilihan acak atau sekadar unggahan terbaru dari akun yang kita ikuti. Kenyataannya, konten yang muncul di layar kita diatur sepenuhnya oleh algoritma berbasis AI. Sistem ini secara diam-diam menganalisis setiap klik, komentar, video yang kita tonton, hingga durasi kita berhenti pada satu gambar. Hasilnya, media sosial menampilkan konten yang paling sesuai dengan profil digital kita. Inilah yang membuat promosi di media sosial sangat efektif—AI menjamin bahwa iklan tidak disajikan sembarangan, melainkan langsung ke audiens yang relevan. Menurut saya, di titik ini AI bukan hanya alat promosi, melainkan sudah menjadi semacam "kurator realitas" yang menentukan cara kita melihat dunia.
Marketplace seperti Shopee, Tokopedia, atau layanan transportasi online seperti Grab dan Gojek telah menjadi laboratorium nyata penerapan AI. Setiap kali saya membuka aplikasi belanja, saya sering merasa aplikasi itu "lebih tahu" tentang kebutuhan saya dibanding saya sendiri. Rekomendasi produk, diskon yang muncul, hingga iklan yang ditawarkan semuanya hasil kerja AI yang membaca riwayat belanja, lokasi, bahkan jam kebiasaan kita bertransaksi. Sistem ini tidak hanya menawarkan produk, tetapi menciptakan ilusi seolah pilihan itu lahir dari keinginan kita sendiri. Saya melihat bahwa di sinilah kekuatan besar AI: ia mengubah pemasaran dari sekadar menawarkan barang menjadi membangun relevansi personal yang terasa alami. Konsumen tidak lagi merasa “dipaksa membeli”, melainkan merasa sedang menemukan sesuatu yang memang dibutuhkannya.
Optimasi mesin pencari atau SEO dulunya sebatas permainan kata kunci. Orang berusaha menempatkan frasa tertentu sebanyak mungkin di artikel agar bisa muncul di halaman pertama Google. Tetapi kini, algoritma AI Google jauh lebih kompleks. Ia tidak hanya membaca kata kunci, melainkan memahami maksud pencarian atau search intent. Artinya, ia bisa menebak apa yang sebenarnya dicari orang meski kata yang digunakan berbeda. Di sisi lain, konten juga mengalami revolusi. Jika dahulu penulis perlu waktu berhari-hari menyiapkan artikel, kini ada AI content generator seperti ChatGPT, Jasper, atau bahkan Synthesia untuk membuat video otomatis. Memang, hasilnya bisa sangat membantu, terutama untuk efisiensi. Namun, saya pribadi melihat tantangan besar: apakah konten yang dihasilkan mesin tetap memiliki jiwa manusia, atau hanya kumpulan kata dan gambar yang rapi tetapi dingin? Pertanyaan ini penting, sebab pemasaran sejatinya bukan sekadar soal informasi, melainkan juga tentang emosi dan kedekatan batin.
Email dan Analitik: Dari Massal ke Personal
Email marketing mungkin tampak kuno, tetapi hingga kini tetap efektif jika dikelola dengan baik. Bedanya, jika dahulu email dikirim secara massal tanpa filter, kini AI memungkinkan email disesuaikan secara personal. Platform seperti Mailchimp atau Send in Blue menggunakan AI segmentation untuk memetakan siapa yang lebih suka penawaran diskon, siapa yang cenderung aktif membaca artikel, atau siapa yang jarang membuka email. Bahkan, AI bisa menentukan jam terbaik untuk mengirim email, sehingga peluang dibuka lebih tinggi. Hal serupa terjadi dalam dunia analitik. Google Analytics dan Facebook Ads Manager kini tidak hanya menampilkan data kunjungan, tetapi juga memberikan analisis prediktif: tren apa yang akan muncul, produk apa yang akan laku, bahkan potensi turunnya minat konsumen. Saya melihat di sini, pemasaran digital telah bertransformasi dari sekadar membaca data masa lalu menjadi membaca masa depan—sesuatu yang hanya mungkin dengan dukungan AI.
Di balik semua kecanggihan ini, saya selalu merasa perlu menekankan bahwa AI tetaplah mesin. Ia bekerja dengan logika, data, dan algoritma. Ia bisa mengolah informasi dalam jumlah tak terbatas, tetapi ia tidak memiliki empati, intuisi, atau nilai budaya yang menjadi inti dari relasi manusia. Bagi saya, inilah garis pembeda yang tidak boleh dihapus. Pemasaran yang sukses tidak hanya mengandalkan akurasi data, tetapi juga pada kemampuan memahami manusia secara utuh: apa yang mereka rasakan, nilai apa yang mereka anut, dan bagaimana cara menyentuh hati mereka. Maka, saya berkeyakinan masa depan pemasaran digital bukanlah pertarungan “AI melawan manusia”, melainkan sinergi “AI dan manusia”. Mesin mengerjakan hal teknis dan prediktif, sementara manusia memberi arah, makna, dan sentuhan emosional.
Penutup
Kesimpulannya, digital marketing hari ini adalah panggung kolaborasi antara teknologi dan kreativitas. AI telah membawa pemasaran ke level yang lebih efisien, cepat, dan presisi. Tetapi, tetap ada ruang yang tak bisa digantikan: ruang rasa, ruang budaya, ruang empati. Saya percaya, bagi pelaku bisnis—terutama UMKM—ini justru kesempatan emas. Dengan memahami AI dan memanfaatkannya secara bijak, usaha kecil pun bisa bersaing di arena global. Namun, kunci sejatinya bukan semata pada teknologinya, melainkan pada keberanian manusia untuk tetap kreatif, reflektif, dan berani memberi makna. AI hanyalah motor; manusialah yang tetap memegang kemudi arah peradaban pemasaran.