Mengapa orang yang paling keras suaranya sering kali justru yang paling salah? Pertanyaan ini menohok, tapi riset psikologi menjawabnya dengan jelas. Fenomena Dunning-Kruger menunjukkan bahwa orang dengan kemampuan rendah justru cenderung memiliki rasa percaya diri yang berlebihan, sementara mereka yang benar-benar ahli malah sering meragukan dirinya. Menurut Thinking, Fast and Slow karya Daniel Kahneman (2011), bias kognitif ini membuat penilaian diri manusia menjadi terbalik: orang yang tahu sedikit merasa tahu banyak, dan orang yang tahu banyak sadar betapa luasnya ketidaktahuan.
Di kehidupan sehari-hari, kita bisa menemukannya di ruang rapat, kelas, bahkan di media sosial. Mereka yang paling minim pengetahuan kerap berbicara dengan keyakinan penuh, sementara mereka yang benar-benar paham sering menahan diri karena menyadari kompleksitas masalah. Ini bukan sekadar ironi, melainkan efek psikologis yang nyata dan meresap ke dalam dinamika sosial kita.
1. Ilusi Pengetahuan
Dalam The Invisible Gorilla karya Christopher Chabris dan Daniel Simons (2010), dijelaskan bahwa manusia sering melebih-lebihkan pengetahuannya. Orang mengira dirinya paham sesuatu padahal hanya sekadar memiliki potongan informasi yang dangkal. Fenomena ini membuat orang yang sebenarnya belum menguasai suatu bidang justru tampil dengan keyakinan yang berlebihan.
Contoh yang paling mudah adalah saat seseorang merasa tahu soal ekonomi hanya karena membaca satu artikel populer, lalu mendebat ekonom profesional. Ilusi pengetahuan ini bekerja karena otak menyamakan sekadar mengenal informasi dengan benar-benar memahaminya. Akibatnya, mereka yang minim wawasan justru lebih berani tampil.
Ketika kita memahami hal ini, kita jadi lebih berhati-hati dalam menilai diri sendiri. Sebab semakin luas wawasan, semakin sadar kita bahwa pengetahuan sejati membutuhkan kerendahan hati.
2. Bias Konfirmasi
Dalam The Believing Brain karya Michael Shermer (2011), dijelaskan bahwa otak manusia cenderung mencari bukti yang menguatkan keyakinan, bukan yang membantahnya. Orang dengan pengetahuan terbatas sering lebih percaya diri karena hanya melihat informasi yang mendukung pandangannya.
Misalnya, seseorang yang percaya teori konspirasi kesehatan akan merasa sangat yakin hanya karena menemukan dua atau tiga sumber yang sejalan dengan keyakinannya, meski seluruh bukti ilmiah menunjukkan sebaliknya. Rasa percaya diri yang dibangun dari bias konfirmasi ini menciptakan ilusi kebenaran.
Beda halnya dengan seorang ilmuwan yang membaca data berlawanan, ia cenderung ragu dan lebih hati-hati. Rasa ragu itu bukan kelemahan, justru tanda dari pemahaman yang matang.
3. Kurangnya Metakognisi
Dalam How We Know What Isn’t So karya Thomas Gilovich (1991), dijelaskan bahwa banyak orang gagal melakukan metakognisi, yaitu kemampuan untuk mengevaluasi cara berpikirnya sendiri. Tanpa kemampuan ini, orang sulit menyadari keterbatasannya.
Seorang mahasiswa baru mungkin merasa sudah paham filsafat setelah membaca satu buku pengantar, lalu berdebat seakan dirinya Plato modern. Padahal, jika ia memiliki metakognisi yang baik, ia akan menyadari betapa luasnya tradisi filsafat yang belum ia sentuh.
Kurangnya kesadaran diri inilah yang membuat orang bodoh terlihat sangat percaya diri, sementara orang pintar justru banyak diam karena menyadari betapa banyak yang belum diketahuinya.
4. Efek Kesederhanaan Semu
Menurut The Knowledge Illusion karya Steven Sloman dan Philip Fernbach (2017), otak manusia cenderung meremehkan kompleksitas dunia. Orang mengira memahami cara kerja sesuatu hanya karena bisa menjelaskan permukaan masalah.
Contohnya sederhana: banyak orang yakin tahu cara kerja toilet atau smartphone, sampai diminta menjelaskannya detail dari awal sampai akhir. Rasa percaya diri palsu itu hilang seketika. Namun yang menarik, sebagian orang tetap tak sadar dan terus menganggap dirinya mengerti.
Orang yang benar-benar ahli justru sering terkesan ragu karena mereka memahami detail teknis yang rumit, sehingga sadar bahwa penjelasan sederhana bisa menyesatkan.
5. Overconfidence Bias
Dalam Blindspot: Hidden Biases of Good People karya Mahzarin Banaji dan Anthony Greenwald (2013), diuraikan tentang overconfidence bias, yaitu kecenderungan manusia menilai dirinya lebih pintar, lebih benar, dan lebih mampu daripada kenyataan. Orang dengan sedikit informasi cenderung menjadi korban bias ini karena tidak punya kerangka untuk menilai diri dengan akurat.
Misalnya, seseorang yang baru belajar investasi saham sebulan merasa sudah bisa menyaingi Warren Buffett. Atau pegawai baru yang baru ikut satu pelatihan merasa lebih tahu daripada senior. Rasa percaya diri berlebihan ini sering jadi bahan tertawaan di balik layar, tapi di saat bersamaan bisa berbahaya.
Sementara itu, orang yang benar-benar ahli justru cenderung menurunkan ekspektasi. Mereka lebih hati-hati karena tahu betapa rapuhnya kepastian dalam banyak bidang.
6. Ketidakmampuan Melihat Nuansa
Dalam The Righteous Mind karya Jonathan Haidt (2012), dijelaskan bahwa orang dengan wawasan sempit sering melihat dunia secara hitam-putih. Pola pikir biner ini membuat mereka terlihat sangat yakin, karena tidak terbebani oleh kerumitan dan nuansa.
Contoh sehari-hari bisa dilihat dalam debat politik di media sosial. Mereka yang paling keras biasanya adalah yang paling sedikit membaca, karena baginya dunia hanya terdiri dari dua kubu. Sementara akademisi yang benar-benar meneliti topik tersebut cenderung terlihat “lembek” karena berusaha adil pada banyak faktor.
Rasa percaya diri yang lahir dari penyederhanaan berlebihan ini sangat menipu. Orang bodoh terlihat berani karena menolak melihat kerumitan yang sebenarnya.
7. Pengetahuan Membawa Kerendahan Hati
Dalam Intellectual Humility karya Ian Church dan Peter Samuelson (2017), ditekankan bahwa orang yang benar-benar berpengetahuan cenderung memiliki intellectual humility, atau kerendahan hati intelektual. Mereka sadar betapa luasnya dunia, sehingga lebih sering berkata “saya tidak tahu”.
Hal ini bisa kita lihat pada seorang profesor yang meskipun sudah puluhan tahun meneliti, masih mengakui keterbatasannya. Berbanding terbalik dengan seorang pemula yang justru berlagak seperti pakar. Inilah paradoks Dunning-Kruger: pengetahuan sejati justru membuat orang tampak ragu, bukan penuh kepastian.
Kerendahan hati intelektual ini adalah kunci. Tanpa itu, seseorang hanya menjadi korban dari ilusi kepintaran yang rapuh.
Efek Dunning-Kruger adalah cermin sosial yang mengganggu, karena ia memperlihatkan bagaimana dunia sering kali dipimpin oleh suara paling keras, bukan yang paling benar. Menurutmu, apakah fenomena ini juga terjadi di lingkaran terdekatmu? Tulis pandanganmu di komentar dan bagikan agar lebih banyak orang sadar akan bias ini.