Sengketa Jalan 450 Meter: Dua Desa di Pati Berhadapan di Pengadilan


    Mediapati.com, PATI - Persengketaan kepemilikan jalan sepanjang 450 meter antara Desa Payang dan Desa Tambaharjo di Kecamatan Pati Kota, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, kini bergulir hingga ke Pengadilan Negeri Pati. Konflik ini bermula dari klaim kepemilikan atas jalan utama yang menjadi akses menuju Desa Payang.

    Secara administratif, jalan yang menjadi sengketa terletak di wilayah Desa Tambaharjo. Namun, Desa Payang mengklaim memiliki hak historis atas jalan tersebut karena dibangun dan dirawat oleh nenek moyang mereka sejak ratusan tahun lalu.

    Kepala Desa Payang, Dewi Ernawati, mengemukakan alasan kesejarahan sebagai dasar klaim desanya. Menurut Erna, jalan tersebut dibangun oleh pendiri Desa Payang, yakni Eyang Dipokerti atau yang akrab disapa Mbah Dipo, yang makamnya berada tidak jauh dari kantor desa.

    "Jalan masuk Desa Payang sudah dibangun oleh nenek moyang kami yaitu Mbah Dipo. Selama berpuluh tahun kami yang membangun mulai dari pengerasan, pengaspalan, sampai betonisasi," ujar Erna saat ditemui di lokasi, Rabu (26/11/2025).

    Erna menjelaskan bahwa Pemerintah Desa Payang telah secara konsisten merawat dan memperbaiki jalan tersebut selama bertahun-tahun. Pada periode 2016-2018, desanya melakukan program betonisasi dengan total anggaran mencapai ratusan juta rupiah yang bersumber dari dana desa.

    Rinciannya yaitu tahun 2016 sebesar Rp138,56 juta, tahun 2017 senilai Rp199,9 juta, dan tahun 2018 sejumlah Rp225,321 juta.

    Selain pembangunan fisik jalan, pada 2011 Pemdes Payang juga mendirikan gapura bertuliskan "Masuk Desa Payang" sebagai penanda wilayah. Warga Payang juga menanam pohon randu di sepanjang jalan yang hasilnya dijual untuk menambah pendapatan desa.

    Namun, konflik mulai memuncak ketika pada Oktober 2021, Pemerintah Desa Tambaharjo mengakui jalan tersebut sebagai milik mereka dan melarang Pemdes Payang melakukan perawatan atau pembangunan di jalan itu.

    "Kalau wilayah memang masuk Desa Tambaharjo, tapi yang membuat jalan ini ratusan tahun adalah nenek moyang kami. Warga Desa Payang kerja bakti merawat jalan, tidak pernah warga Tambaharjo merawat," tegas Erna.

    Karena merasa dirugikan, pada Mei 2025 Pemdes Payang melaporkan kasus ini ke Pengadilan Negeri Pati. Mereka menuntut agar jalan tersebut diserahkan kepada Desa Payang, serta meminta ganti rugi atas kerusakan gapura senilai Rp10 juta, kerugian tanaman trembesi Rp525 ribu, dan kerugian material sebesar Rp50 juta.

    Tanggapan Desa Tambaharjo

    Kepala Desa Tambaharjo, Sugiyono atau yang akrab disapa Oyong, bersikukuh bahwa jalan tersebut secara administratif merupakan bagian dari wilayah desanya. Ia berpegang pada bukti-bukti administrasi seperti peta wilayah dan data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).

    "Saya dilaporkan ke Pengadilan Negeri Pati. Mediasi di PN tidak ada titik temu, akhirnya kita lakukan persidangan," kata Oyong.

    Menurut Oyong, wajar jika Pemdes Payang memperbaiki jalan karena warga mereka yang paling sering melintas. Namun, menurutnya hal tersebut tidak serta-merta memberikan hak kepemilikan kepada Desa Payang.

    "Namanya yang melewati ya yang membenahi, itu di mana saja. Tapi jalan ini tetap milik Desa Tambaharjo sesuai peta wilayah," jelasnya.

    Terkait penanaman pohon randu, Oyong mengatakan pada masa kepala desa sebelumnya tidak ada masalah karena Desa Payang meminta izin terlebih dahulu. Namun, sejak sekitar 2020 mulai timbul konflik, terutama terkait penebangan pohon randu.

    Oyong menegaskan bahwa meskipun ada klaim historis nenek moyang, sistem pemerintahan Indonesia tetap mengenal batas wilayah administratif yang jelas.

    "Masalah nenek moyang, semua tinggalan nenek moyang. Tapi di Indonesia ada bentuk pemerintahan, semua daerah tetap ada batas wilayah," ujarnya.

    Ia juga menekankan bahwa hubungan antara warga kedua desa tetap harmonis dan jalan tersebut tidak pernah ditutup untuk akses umum.

    Proses Hukum

    Pengadilan Negeri Pati telah melakukan pengukuran lapangan terhadap jalan yang menjadi objek sengketa. Ketua Majelis, Darminto Hutasoit, menyatakan bahwa sidang kesimpulan akan digelar pada 15 Desember 2025 secara elektronik.

    "Untuk acara berikut adalah kesimpulan pada 15 Desember 2025, kesimpulan diajukan persidangan elektronik, tidak datang ke pengadilan," jelas Darminto di lokasi.

    Keputusan pengadilan nantinya diharapkan dapat memberikan penyelesaian yang adil bagi kedua belah pihak dan menjaga kerukunan antarwarga yang selama ini tetap terjaga meski dua desa ini terlibat sengketa hukum.

    Lebih baru Lebih lama