Imam Asy-Syafi’i dan Tasawuf: Kritik kepada Praktik Menyimpang, Bukan pada Ajarannya


Dalam karyanya "مفاهيم يجب أن تصحح" (Pemahaman yang Harus Diluruskan), Prof. Dr. Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki mengungkapkan bahwa tasawuf kerap disalahpahami dan dicurigai oleh sebagian umat Islam. Bahkan ada anggapan bahwa tasawuf bukan bagian dari ajaran Islam dan merupakan bid’ah dhalalah. Pandangan ini, menurut beliau, sangat berbahaya dan menyimpang dari kenyataan bahwa mayoritas umat Islam di dunia justru berafiliasi dengan kelompok tasawuf dan memakmurkan zawiyah (padepokan-padepokan) spiritual mereka.

Dalam makalah yang disampaikan pada pertemuan nasional dan dialog pemikiran ke-2 pada 5–9 Dzul Qa’dah 1424 H di Makkah, beliau juga menyoroti kurikulum tauhid tingkat Tsanawiyah (SLTP) cetakan Saudi Arabia tahun yang sama. Kurikulum ini menyatakan bahwa kelompok Shûfiyyah adalah pelaku syirik dan telah keluar dari Islam. Materi seperti ini berpotensi memperluas konflik internal umat Islam, alih-alih mendamaikannya.

Salah satu kutipan ulama salaf yang sering dijadikan dalih untuk menolak tasawuf adalah pernyataan Imam asy-Syafi’i yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam Manâqibul-Imâm asy-Syâfii (II/207):

لو أن رجلا تصوّف من أول النهار لم يأت عليه الظهر إلا وجدته أحمق
“Jika seorang bertasawuf sejak pagi, maka sebelum datang waktu zhuhur, engkau akan dapati ia telah menjadi orang yang ahmaq (lemah akal).”

Ucapan ini kerap dijadikan bukti bahwa Imam asy-Syafi’i menolak tasawuf. Bahkan, sebagian kelompok anti-tasawuf memperkuatnya dengan kutipan dari Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal dan lainnya, sehingga seolah-olah seluruh ulama salaf menolak keberadaan kaum sufi.

Namun, para ulama mengkaji ucapan ini dari dua sisi: pertama dari sisi legalitas sanad, kedua dari sisi pemahaman dan maknanya. Secara sanad, sejumlah ulama mempertanyakan keabsahan riwayat tersebut karena adanya perawi seperti al-Maraghi yang tidak dijelaskan status ke-tsiqah-annya, kecuali oleh muridnya sendiri, Imam Hakim. Begitu pula dengan al-Husain bin Muhammad bin Bahar yang hanya dinilai kredibel oleh Imam ad-Daraquthni, yang dikenal menggunakan standar lebih longgar.

Sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh as-Sakhawi dalam Fathul Mughîts:

وعبارة الدارقطني: من روى عنه ثقتان فقظ ارتفعت جهالته وثبتت عدالته
“Menurut redaksi ad-Daraquthni, siapa yang diriwayatkan oleh dua orang tsiqah, maka kebodohannya terangkat dan keadilannya dapat diterima.”

Namun banyak ulama, termasuk dari kalangan Mazhab Syafi’i, menolak standar ini dan tidak menggunakan riwayat seperti itu sebagai hujah. Ironisnya, kelompok yang juga menolak metode ad-Daraquthni justru menggunakan riwayat ini untuk menyerang tasawuf.

Jika pun riwayat tersebut diterima, para ulama menjelaskan bahwa maksud dari ucapan Imam asy-Syafi’i bukanlah menolak tasawuf, melainkan mengkritik orang-orang yang mengaku sebagai sufi namun menyimpang dari substansi ajaran tasawuf. Imam al-Baihaqi memberikan penjelasan dalam Manâqibul-Imâm asy-Syâfii (II/208):

“Sesungguhnya yang dimaksud Imam asy-Syafi’i adalah orang-orang yang cukup puas dengan sebutan sufi tanpa memahami hakikat dan praktik tasawuf. Mereka meninggalkan kerja, bergantung pada belas kasihan umat, tidak peduli dengan hak-hak orang lain, dan jauh dari ilmu serta ibadah.”

Beliau juga mengutip perkataan Imam asy-Syafi’i:

لا يكون الصوفي صوفيا حتى يكون فيه أربع خصال : كسول أكول نؤوم كثير الفضول
“Seorang sufi tidaklah sempurna hingga ia memiliki empat sifat: malas, rakus, suka tidur, dan banyak berbicara sia-sia.”

Namun, menurut Imam al-Baihaqi, celaan itu hanya ditujukan kepada sufi yang memiliki sifat buruk tersebut, bukan kepada tasawuf atau sufi yang sejati. Bahkan, Imam asy-Syafi’i bersahabat dengan para sufi dan belajar dari mereka. Beliau pernah berkata:

“Aku bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, dan aku hanya mendapatkan dua pelajaran: Waktu adalah pedang, jika tidak engkau gunakan maka ia akan memotongmu; dan nafsu, jika tidak disibukkan dengan kebenaran, ia akan menyeretmu kepada kebatilan.”

Imam asy-Syafi’i bahkan memuji tokoh sufi yang bernama Abu Imran ash-Shufi, seorang ahli qira’ah yang sangat beliau hormati. Dalam syair yang dinisbatkan kepadanya, beliau menegaskan pentingnya keseimbangan antara ilmu fikih dan tasawuf:

فقيها وصوفيا فكن ليس واحدا * فإني وحق الله إياك أنصح
فذاك قاس لم يق قلبه تقى * وهذا جهول كيف ذو الجهل يصلح
Jadilah seorang faqîh yang juga sufi, jangan hanya salah satunya. Sungguh demi Allah, aku menasihatimu.
Seorang faqih tanpa tasawuf bisa keras hatinya tanpa takwa, sedangkan sufi tanpa ilmu fikih adalah orang bodoh—bagaimana mungkin kebodohan bisa memperbaiki seseorang?

Kesimpulannya, Imam asy-Syafi’i tidak pernah mencela tasawuf secara esensi. Yang ia kritik adalah penyimpangan dalam praktik tasawuf, bukan ajaran tasawuf itu sendiri. Wallâhu A’lam bish-Shawâb.

Disarikan dari: https://sidogirimedia.com/benarkah-imam-asy-syafii-mencela-tasawuf/

Lebih baru Lebih lama